Senin, 20 Maret 2017

We Never Say Goodbye #1

Banyak orang bilang hal yang pertama itu susah dilupain, aku setuju sih walaupun enggak ada yang terlalu berkesan karena yang bikin berkesan itu adalah yang pertama.

Pacar pertama, dikala umur masih muda belia dan belum mengerti apapun tentang hubungan dengan lawan jenis. Sama sekali enggak ngerti gunanya buat apa kecuali ada perasaan seneng yang enggak dimengerti asalnya.

Kejadian waktu itu masih terekam dengan jelas didalam ingatan. Malam-malam dia telepon ke rumah, kebetulan aku yang angkat telepon. 

Suara cadel itu bilang "Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Ini siapa?"

"Ini gue, Eric. Tadi PR Bahasa Indonesia halaman berapa ya?"

"Hmm..lupa gue juga, sebentar ya ambil bukunya dulu"

Aku masuk ke kamar meninggalkan telepon dari Eric di atas meja, aku jadi ingat hari ini belum mengerjakan PR. Aku berjalan lagi ke ruang tamu membawa buku LKS Bahasa Indonesia, aku angkat telepon seraya membolak-balik halaman buku.

"Ric, ini halaman 15. Yang pilihan ganda sampe soal cerita."

"Oke. Gue catet ya. Makasih ya, Ki. Gue ngerjain PR dulu"

Pembicaraan kami hanya begitu saja dan hampir setiap hari Eric melepon kerumahku, entah dia dapat nomer teleponku dari mana. Di sekolah posisi duduk kami juga tak terlalu dekat, aku tak terlalu sering berinteraksi dengannya ketika di kelas kecuali kalau kami sedang istirahat dan bermain.

Di sekolahku dulu dalam satu kelas dan ada empat baris meja. Kami duduk berdua-berdua entah guruku yang memilih temannya atau kami pilih sendiri aku tak ingat, lagipula dulu kami anak penurut dan dengan siapapun kami duduk bukan masalah. Entah mengapa aku tak ingat aku duduk dengan siapa.

Barisan paling dekat dengan meja guru biasanya disebut barisan satu dan seterusnya sampai barisan paling dekat dengan pintu keluar. Aku diajar dengan Bapak Guru ini sejak kelas 5 dan sampai sekarang dia adalah guru yang paling kuingat dalam sejarah hidupku. Akan ada beberapa bagian kisah tentang guruku ini.

Eric duduk di barisan satu di meja kedua dari depan kelas sedangkan aku duduk di barisan kedua di meja kedua dari belakang kelas. Meskipun jauh dari meja guru tapi pandangan mata guruku itu langsung tepat tertuju kepadaku.

Setelah telepon-telepon Eric di setiap harinya sebenarnya tak pernah mengganggu pikiranku dan juga tak mengubah apapun yang ada di dalam diriku, semua masih begitu saja seperti sedia kala. Sampai suatu ketika malam itu ada pembicaraan lain yang membuat seluruh tubuhku panas dan mukaku memerah.

Biasanya Eric menelepon itu sebelum Magrib atau sesudah Magrib dan biasanya percakapan kami hanya tentang PR hari ini bahkan kami tak pernah membahas apapun selain itu. Malam itu ketika telepon berdering aku dengan sigap meraih telepon karena aku sudah tahu kalau itu adalah Eric.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

Eric selalu sopan walaupun dengan kemungkinan dia tahu kalau aku yang akan menerima teleponnya tapi dia selalu melepon dengan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Ya, ini Kia. Ini Eric kan? Hari ini ada PR IPA aja, gak ada PR yang lain", aku sudah tahu pertanyaannya tanpa perlu dia bertanya panjang lebar.

Dia tertawa.

"Gue udah tau kok PR hari ini, lagian hari ini enggak mau nanyain PR. Ada yang mau gue tanyain nih."

"Hahaha. Apa?"

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Aku gak bisa jelasin apa yang terjadi di dalam diriku setelah pertanyaan tanpa peringatan itu yang jelas yang terjadi dalam diriku seperti ini : jantungku berdetak kencang, sekujur tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan aku seketika haus.

"Apa?", itulah jawabanku karena kupikir mungkin aku salah dengar. 

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Eric cuma mengulang pertanyaan yang sama dan dia hanya diam setelah melontarkan pertanyaan itu dua kali. Aku masih enggak ngerti dengan apa yang sedang terjadi dan dengan kondisi yang sama aku berusaha menjawab.

"Lo suka?", kataku.

"Suka. Lo suka gak?"

Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan menjawab apa yang pertama kalo terlontar dalam benakku walau aku tak mengerti apa arti dari pertanyaan itu dan apa yang ada di dalam pikiranku.

"Suka." 

"Mau pacaran sama gue gak, Ki?"

"Mau."

"Jadi, resmi ya hari ini kita pacaran. Yaudah gue mau pulang dulu ngerjain PR. Dadah"

Aku cuma menutup telepon dan berpikir apa yang sudah aku lakukan ini, aku yakin mukaku masih merah karena badanku masih terasa panas. Entah ini bentuk rasa senang atau bukan tapi aku ingat setelah telepon itu aku tersenyum dan masih tak percaya dengan apa yang terjadi. 

Aku punya pacar.
 ...

Setelah beberapa lama perasaanku kembali seperti biasa, hanya saat setelah kejadian aku tidak henti tersenyum tapi tidurku normal tidak seperti habis nonton film Suzanna yang berhasil membuatku selama tiga hari tidak berani sendirian dimanapun dan dalam kondisi apapun. 

Sepertinya jatuh suka dikala muda belia tidak sebegitunya mengguncang perasaan tapi perasaan senang itu ada. 

Besoknya, aku ke sekolah seperti biasa. Pagi-pagi dijemput Pak Mun diantar naik becak ke sekolah, jadi sistem pengantarannya itu hanya pagi-pagi karena pulang sekolah waktunya tidak teratur selain kadang les, kadang latihan upacara bendera, kadang ekskul dan seringnya main.

Waktu SD itu asik datang ke sekolah pagi-pagi soalnya bisa main dulu sama temen-temen sebelum mulai belajar. Ya, waktu itu yang ada di otak itu cuma main aja sama belajar walau belajarnya sedikit soalnya aku udah bawaan pinter gitu jadi jarang belajar.

Hari itu sebenarnya biasa saja bahkan aku tak terlalu mengingat kejadian semalam tapi ada satu kejadian yang bikin aku tak tahu harus berbuat apa. Kami berpapasan ketika aku ingin ke toilet dengan temanku, yang sayangnya aku tak ingat temanku itu siapa. 

Waktu SD cewek-cewek kalo ke toilet itu pasti berdua entah di jam istirahat atau jam belajar harus berdua. Penyebabnya adalah toilet jaman SD dulu itu kotor, bau dan kadang kuncinya hilang jadi demi keamanan bersama memang harus ada temannya. 

Sebelum masuk kelas, temanku, mungkin Lusi atau Rahma, aku berusaha mengingat tapi gagal. Ya siapapun itu mengajak ke toilet dan kita berjalan berdua keluar pintu kelas tepat di hadapanku ada Eric. 

Pertemuan pertama kami setelah kejadian semalam dan terjadi lagi perasaan aneh tadi malam. Jantungku kembali berdetak kencang, seluruh tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan mukaku memerah. Kami bertatap, buang muka, bertatap dan buang muka lagi.

Setelah buang muka dia berlari entah kemana karena aku berjalan begitu cepat menuju toilet. Aku bersyukur dia tak menyapaku dan temanku tak ada ide apa-apa kalau kami pacaran. Kami pacaran dan tidak ada satu orang pun di sekolah yang tahu atau bahkan tidak ada satu orangpun selain kami yang tahu karena aku tidak cerita kepada siapapun.

Malamnya seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa Eric menelepon ke rumah, bedanya kali ini aku sedikit menunggu telepon ini dan percakapan kami. 

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Gue udah apal suara cadel elo."

"Oh iya? Gue juga apal suara lo walaupun enggak cadel. Hari ini ada PR apa?"

"PR IPS sama disuruh hapalin nama Menteri, kata si Bapak nanti gak boleh pulang kalo gak bisa jawab"

"Yaudah. Gue belajar dulu. Dadah."

Benar-benar tidak ada yang berubah, obrolan kami masih seputar PR dan tidak ada kemajuan yang berarti tapi aku suka. Aku suka menunggu telepon rumah berdering, aku suka dia ingin berbicara denganku dan aku suka mendengar bunyi berisik dari jalan raya yang jadi latar belakang obrolan kami.

...

Sesungguhnya tak terlalu banyak hal indah yang aku ingat ketika kami pacaran, selain semuanya lewat telepon dan kalau ketemu juga enggak berani ngobrol bahkan tak berinteraksi maka tak heran kalau hampir tak ada yang tahu kami pacaran.

Ada satu kejadian paling berkesan ketika pacaran dengan Eric. Waktu itu aku ulang tahun dan tahu kan kalau ulang tahun itu ada tradisi "nyeplokin". Entah itu tradisi dari mana tapi semenjak aku mengingat ya kalau ulang tahun harus di ceplokin. Mungkin sebenarnya nyeplokin itu seperti ngasih kue tapi bahan mentahnya karena ramuan yang kita hadiahkan itu biasanya telur dan tepung dilempar aja ke yang ulang tahun tanpa tahu artinya tapi senang.

Aku termasuk teman yang menyenangkan dan populer waktu SD karena ketika aku ulang tahun teman-temanku seperti sudah memberi kode kalau akan terjadi penceplokan itu. Sebagai anak yang penuh persiapan bahkan di hari ulang tahunku itu aku sudah membawa baju ganti, dulu rasanya bangga kalau ulang tahun diceplokin karena berarti teman-temanku ingat ulang tahunku.

Aku ingat benar salah satu temanku membuka tasku dan memberitahu teman yang lain kalau aku membawa baju ganti. Aku malu tapi juga senang, tapi aku tak mau kalau teman-temanku tau kalau senang ingin diceplokin karena itu adalah bentuk perhatian.

Karena perasaan malu itu sepulang sekolah aku berlari begitu kencang ketika bel berbunyi, aku hanya pamit ke guruku dan berlari. Sepertinya, teman-temanku tak menyangka aku akan kabur secepat itu. 

Dulu waktu SD, aku pelari yang handal dan aku jagoan olahraga. Seingatku sih aku selalu diperebutkan kalau kami bermain benteng, galaksin, baseball atau apapun itu karena aku jagoan. Jadi tak heran kalau aku lari begitu cepat menanggung malu karena ketahuan membawa baju ganti.

SD aku itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah tapi juga tidak dekat, paslah untuk melatih kemandirian karena tidak telalu dekat dari rumah tapi juga aman karena enggak perlu juga naik angkot. 

Aku berlari sampai yakin tak ada yang berhasil mengejarku dan memelan karena ssesungguhnya aku ingin tertangkap dan ingin diceplokin itu walau jadi bau dan kotor tapi waktu itu aku yakin itu adalah bentuk perhatian terbesar. 

Aku berlari pelan dan ketika aku menengok ke belakang aku melihat Eric berlari begitu kencang kearahku. Aku berlari lagi karena aku masih menanggung malu, dibelakang Eric aku lihat teman-temanku juga berlari. 

"Kia..Kii.. tunggu dulu", Eric setengah berteriak.

"Gue gak mau diceplokin!", kataku setengah berbohong.

"Enggak Ki, berenti dulu..tunggu"

"Hah? Kenapa?"

Eric berlari sekuat tenaga mengejarku dan menangkap tas gemblokku. Aku diam pasrah menunggu ungkapan perhatian yang berupa ceplokan itu. Dia melepaskan tasku dan merogoh sesuatu dari tasnya, aku tak berlari karena memang ingin diceplokin. Dia mengeluarkan kotak berbungkus kado yang tidak rapih.

"Ini buat elo.", kata Eric sambil berusaha meluruskan napasnya.

"Apaan nih?"

"Gak tau nyokap gue yang kasih, cepet masukin ke tas."

Aku menurut saja segera kubuka tasku, tapi kotak itu tak muat dan kami berusaha mendorong dengan keras agar muat dan tasku bisa diseleting. Saat itu juga aku melihat teman-temanku masih berlari dari berusaha mengejar.

"Cepat lari sana.", katanya.

"Makasih ya.", ucapku pelan.

Ucapan terima kasih itu untuk kadonya bukan untuk menyuruhku berlari, aku dalam keadaan dilema kala itu tetap berlari dan menang dari teman-temanku atau aku pura-pura tertangkapn dan merasakan perhatian luar biasa melalui ceplokan.

Eric berteriak kearah teman-temanku, menyuruh mereka untuk cepat berlari dan aku entah kenapa berlari semakin kencang. Seperti ada dorongan semangat yang entah datang darimana, aku ingin segera sampai di rumah untuk membuka kado itu. Kado yang tidak sama sekali kusangka akan kuterima di hari itu. 

5 komentar:

bebenhihihi mengatakan...

Penasaran sama kadonya

Anonim mengatakan...

kisah yang epic, awesome dan penuh misteri

ebert ruppert

CSB mengatakan...

Eric? Astaga nuansa jatuh cinta pada That 70's Show. Lanjuttt masi panjang perjalanan, semoga banyak twist ciamik.

artwanderer mengatakan...

Ceplokan itu apaan sih? Di dumai gak ada kata itu soalnya...

Dunia Dua mengatakan...

@bebenhihihi semua ada di part 2!!!!!

@tawvic Makasih pak Ebert..

@CSB mungkin secara tidak sadar masih terngiang si Eric That 70's Show yang menggemaskan. Udah lanjut sampe part 3 ini!!!!

@artwanderer harusnya melewati pulau sekarang sudah sampe ke Dumai nih setelah hampir 17 tahun melanglang buana.